Selamat datang di Blog Opini Koran Indonesia! | About Us | Contact | Register | Sign In

Minggu, 13 Desember 2015

“Ora Sudi”

Presiden Republik Indonesia,Joko Widodo, marah. Suaranya bergetar, wajahnya serius, jari-jari tangannya menuding memberi tekanan kata yang diucapkan. Dan diakhiri dengan mendadak. Presiden tidak menggunakan bahasa terselubung, tidak memakai kata bersayap ala Presiden Soeharto dengan istilah “setan gundul” yang terkenal itu. Presiden Joko Widodo bicara mloho, telanjang, apa adanya. Bahwa dirinya bisa disebut gila, koppeg, tapi lembaga kepresidenan tak bisa dilecehkan. Tak boleh direndahkan, apalagi dicatut dalam soal minta saham ke PT Freeport.

Mungkin sekali baru sekarang ini, setelah satu tahun mengenal beliau sebagai presiden, kemarahan itu diekspresikan secara terbuka. Mungkin sekali beliau menganggap apa yang terjadi dengan pencatutan nama sudah keterlaluan. Sebagian masyarakat Indonesia juga geram, marah. Beberapa tokoh politik menyuarakan hal yang senada. Beberapa waktu sebelum kemarahan terbuka ini, Menteri ESDM Sudirman Said ketika melapor kasus yang melibatkan Ketua DPR dan pengusaha migas, terucap bahwa Presiden mengatakan “ora sudi”.

Dalam terjemahan secara umum bisa diartikan tidak mau, ogah, tidak sudi. Namun sebenarnya yang terungkap dalam bahasa Jawa ini lebih dalam dari sekadar penolakan. Kalimat utuhnya dalam bahasa Jawa adalah “Ora sudi. Dadia godong emoh nyuwek, dadia banyu emoh nyawuk”. Terjemahan per kata adalah “Tidak sudi. (Kalaupun kamu) berupa daun (aku tak mau) menyobek, (kalau kamu) berupa air (aku tak mau) menyentuh.” Dengan pengertian senada bisa dikatakan sebagai penolakan dalam bentuk apapun. Bahkan kalau itu berwujud daun, tangan ini terlalu halus untuk menyobeknya.

Kalau itu berwujud air, tetap tak ingin bersentuhan. Dalam bahasa dunia persilatan, kata “ora sudi” mirip dengan upacara “minum arak perdamain”. Yaitu upacara dua jago silat—atau lebih, yang tadinya bersahabat, atau bahkan bersaudara, atau satu kelompok, satu perguruan— yang meminum arak bersama. Itu sebagai tanda bahwa setelah upacara minum arak perdamaian, kedua akan berlaga. Duel atau pun keroyokan.

Dalam hal ini segala tata nilai dan tata krama sebelumnya tidak berlaku. Nilai persaudaraan, perkawanan, perkoalisian, perpartaian, tidak berlaku lagi. Hukum baru yang berlaku. Hukum “ora sudi.”

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Dan kemarahan begini tidak boleh berakhir sia-sia, yang berhenti pada kemarahan semata. Harus ada tindak lanjutnya. Hal yang sama ketika masyarakat merasakan kemarahan, ketersinggungan yang sama, kecemasan besar atau perilaku yang menghinakan kemanusiaan, kemarahaan mereka tak harus sia-sia. Ini yang sekarang ditunggu. Apapun itu.

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN JAKARTA, 12 Desember 2015
Share this article now on :

Posting Komentar