Selamat datang di Blog Opini Koran Indonesia! | About Us | Contact | Register | Sign In

Senin, 24 April 2017

Wiro Sableng #56 : Ratu Mesum Bukit Kemukus

Wiro Sableng #56 : Ratu Mesum Bukit Kemukus Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1WIRO SABLENG

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito

Desa Kenconowengi yang malam itu sebelumnya tenggelam dalam udara sejuk dan kesunyi-senyapan mendadak saja berubah menjadi hingar bingar. Di sebelah utara tampak kobaran api membakar dua buah rumah. Di sebelah timur terdengar pekik jerit orang-orang yang ketakutan. Lalu ada suara derap kaki kuda. Terdengar suara kentongan bersahutan beberapa kali lalu senyap. Di jurusan lain terengar teriakan-teriakan orang sambil berlarian bercampur aduk dengan jeit tangis anak-anak dan orang-orang perempuan.

"Lari! Lari! Gerombolan Warok Ijo menyerbu! Selamatkan diri ke lembah! Lari...!"

Derap kaki kuda datang menyerbu. Dua bilah golok panjang berkelebat. Dua orang penduduk yang barusan berteriak roboh ke tanah. Darah muncrat dari tubuh keduanya. Yang pertama langsung meregang nyawa dangan leher hampir putus. Kawannya yang terkapar di sebelahnya, sesaat masih tampak menggeliat sambil pegangi dadanya yang robek besar, lalu diam tak ber
... baca selengkapnya di Wiro Sableng #56 : Ratu Mesum Bukit Kemukus Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Read More »
23.54 | 0 komentar

Selasa, 18 April 2017

Mimpi

Mimpi Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Kata orang,kehidupan itu seperti mimpi. Sekejap saja, lalu ia berlalu pergi. Maka, sebagian orang menjalani kehidupannya dalam mimpi—berada di atas lalu jatuh ke bawah lagi, bangkit, lalu naik ke atas lagi.Jika hari ini ia bermimpi berada di selokan, maka keesokan harinya, bangunlah ia di atas tempat tidur sang Raja,ketika ia terbangun dari mimpinya di ranjang, ia menemukan dirinya kembali ke selokan. Begitu terus, rangkaian takdir yang tak pernah putus.

Lalu, mengapa aku tak boleh bermimpi? Apakah, karena mereka takut, aku tidak akan terbangun di tempat tidur sang Raja, namun, di tumpukan kardus sederhana ini? Tapi, setiap orang punya hak untuk bermimpi, karena mimpilah yang membebaskan nurani dari kenyataan yang menghimpit, angan-anganlah yang melepaskan pikiran dari kenyataan yang pahit. Kenyataan yang dihadapi sang pemimpi di selokan tadi.

Tapi, betapa mahalnya harga sebuah mimpi. Setiap kali aku mengucapkan ‘mimpi’, maka hanya akan caci maki yang kudapat. Ya, mimpi yang harusnya membebaskan nurani dari kenyataan yang menghimpit, malah menjadi terhimpit oleh kenyataan itu sendiri. Terlalu banyak bermimpi, kata orang. Tetapi, adakah sebuah batasan untuk mimpi? Jika
... baca selengkapnya di Mimpi Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1


Read More »
19.54 | 0 komentar

Senin, 17 April 2017

BERTUMBUH HINGGA TANPA BATAS

BERTUMBUH HINGGA TANPA BATAS Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

04 Maret 2008 – 05:47   (Diposting oleh: Editor)

“A person is limited only by the thoughts that he chooses. – Kapasitas seseorang dibatasi oleh pemikirannya sendiri.” ~ James Allen As A Man Thinketh

Setiap saat masing-masing di antara kita bisa melakukan hal yang luar biasa dengan berpikir berbeda. Anda sebenarnya juga bisa berkembang puluhan kali lipat. Semua itu tergantung pada pola pikir Anda sendiri.

Anehnya hampir semua orang cenderung langsung kecewa, marah, frustrasi ketika sampai pada situasi kurang menguntungkan atau tidak berhasil. Mereka sama sekali tidak berpikir positif saat menghadapi tantangan, yang salah satunya berbentuk kegagalan. Padahal, seandainya mereka tetap optimis, dalam kondisi terburuk pun mereka pasti dapat memulai lagi langkah-langkah untuk bertumbuh lebih dari yang pernah mereka bayangkan.

Optimis adalah syarat penting untuk dapat bertumbuh optimal dari kondisi Anda saat ini. Langkah selanjutnya yang tak kalah penting agar Anda bertumbuh secara fenomenal adalah menciptakan impian. Ketika Anda sudah berani bermimpi, maka rasa percaya diri akan tumbuh dan lebih siap menghadapi tantangan. Selanjutnya impian tersebut membantu Anda berpikir lebih positif, sehingga Anda dapat menikmati proses perubahan menuju pertumbuhan.

Langkah penting lainnya adalah memahami diri
... baca selengkapnya di BERTUMBUH HINGGA TANPA BATAS Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1


Read More »
12.54 | 0 komentar

Senin, 10 April 2017

Bidadari Kecil, Saghirah

Bidadari Kecil, Saghirah Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

“Saghirah, hari ini sekolah ya nak. Ibu tak mau gara-gara ibu, Saghirah ga sekolah.” ucap ibu Fitri yang masih terbaring lesu setelah di tabrak lari oleh sebuah mobil sedan dua bulan yang lalu yang membuat kedua kakinya tak dapat digerakkan lagi. Ibu muda beranak dua tersebut sudah dua tahun terakhir menjadi tonggak dalam keluarganya setelah suaminya meninggal dunia karena infeksi di kakinya.
“Iya, bu.” Jawab Saghirah. Matanya berkaca, namun ia tetap tersenyum.
“Maafkan Ira, bu. Ira ga mau ibu sedih kalau tau sebenarnya Ira sudah tidak sekolah, Bu.” lirih Saghirah dalam hati. Rasa tak tega yang membuat semua ini terjadi.
“Ibu, minum obat dulu ya.” Ira duduk sembari merapikan tempat tidur ibunya yang lusuh.
“Kamu dapat obat dari mana sayang?”
“Eu… Di kasih sama dokter Hani, bu.”
Sejenak Ira terdiam. Ia merasa bersalah telah berulang kali terpaksa melakukan hal yang menurutnya konyol itu.
“Siapa beliau itu, nak?” Tanya Ibu Fitri lagi. Kondisi kakinya yang masih membengkak dan tidak mendapatkan perawatan yang berarti membuatnya
... baca selengkapnya di Bidadari Kecil, Saghirah Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1


Read More »
20.27 | 0 komentar

Sabtu, 08 April 2017

Bianglala

Bianglala Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Ketika hati berkata iya maka tidak mungkin mulut berkata tidak. Seperti katamu padaku “ Hati itu tak bisa dibohongi, jangan menyakiti perasaanmu sendiri. Katakan apa yang ingin dikatakan hatimu. Hidup adalah pilihan dan kamu sudah pasti akan semakin tua. Tapi untuk menjadi dewasa adalah pilihan. Umurmu sudah 16 tahun La, dan tiga bulan lagi akan 17 tahun. Aku harap kamu bisa menerima keputusanku ini. Bukan maksudku untuk meninggalkanmu dengan begitu saja. Tapi aku mohon mengertilah dan terima keputusanku ini. Berfikir positif dan dewasa ya. Karna umurmu semakin bertambah tapi jika pikiranmu tidak dewasa sama saja. Menangislah jika kamu ingin menangis. Menangislah jika itu membuatmu tenang. Tapi ingat, kamu hanya boleh menangisi itu jika apa yang kamu tangisi memang pantas untuk ditangisi. Paham kan! “
Katamu pada suatu senja di sebuah tempat yang tak terlalu indah tapi bisa membuat kita betah berlama-lama duduk tempat itu. Menikmati semriwing angin sore dan suara aliran air sungai terpanjang di Pulau Jawa ini. Di bendungan yang seb
... baca selengkapnya di Bianglala Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1


Read More »
22.18 | 0 komentar

Jumat, 24 Maret 2017

Salon Spiderman

Salon Spiderman Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Peter Parker (Spiderman) kegirangan. Nomer togel yang ia pasang tembus. Gak tanggung-tanggung, 4 angka sekaligus. Dalam perjalanan ke tempat bandar untuk mengambil uang, ia terus berpikir mau dipakai untuk apa uang tersebut nantinya. Yang jelas, berhubung selama ini hidupnya serba pas-pas-an, kemungkinan besar ia akan menggunakannya untuk membuka usaha.

Setelah memutar otak, akhirnya Peter memutuskan, ia akan membuka usaha salon! Ya, salon potong rambut. Kebetulan saat ini sudah mendekati musim panas. Pasti banyak orang yang akan potong rambut agar tidak gerah, pikirnya.

Begitulah.

Tidak sampai seminggu salon yang diimpikan telah usai dibangun. Maklum, ia minta bantuan kepada Flash yang bisa bergerak secepat kilat itu. Salon itu ia beri nama “Salon SiLabi”, singkatan dari “Si Laba-laba Imut”.

Selain mempersiapkan peralatan-peralatan salon, Peter turut ‘menyesuaikan’ penampilannya. Karena ia tahu salon tersebut baru akan laku apabila Spiderman sendiri yang menjadi tukang potongnya, ia pun mengenakan kustom merah birunya. Ia juga membuat wig rambut panjang dari jaring laba-labanya, menatanya dengan tren 2010, dan mengenakannya. Gak lucu dong kalau ada tukang potong yang gundul.

Begitulah.

Salon SiLabi ternyata laku keras. Branding Spiderman ditambah dengan momen pembukaan serta lokasi salon ya
... baca selengkapnya di Salon Spiderman Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1


Read More »
00.00 | 0 komentar

Selasa, 14 Maret 2017

Scientific Meditation

Scientific Meditation Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Meditation is not a technique. Meditation is a state of consciousness ~ Anna Wise

Seorang rekan bertanya, “Pak, apa sih yang Bapak ajarkan di gathering QHI di Jakarta baru-baru ini? Saya lihat di facebook Bapak ada gambar gelombang otak yang ditunjukkan di layar. Lalu apa hubungannya dengan meditasi?”

Pembaca, memang benar baru-baru ini saya memberikan update pengetahuan dan teknik terapi advanced, yang saya dapatkan dari Tom Silver dan Anna Wise, kepada para alumni Quantum Hypnosis Indonesia di Jakarta. Tujuan pertemuan ini adalah selain temu kangen juga untuk saling berbagi pengalaman.

Dalam kesempatan itu saya memberikan update berupa teknik induksi instan, cara membawa klien masuk ke kondisi somnambulisme dengan sangat mudah dan cepat (bahkan bisa dikatakan tanpa menggunakan teknik apapun), teknik untuk memastikan bahwa perubahan yang dihasilkan dari proses restrukturisasi menjadi sungguh-sungguh permanen sehingga klien tidak akan bisa kembali ke pola lamanya, walaupun ia menginginkannya atau sengaja berusaha kembali ke pola itu.

Pertemuan ini diikuti oleh cukup banyak alumni. Ada yang datang dari Jakarta, Surabaya, Pontianak, Menado,
... baca selengkapnya di Scientific Meditation Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1


Read More »
20.00 | 0 komentar

Kamis, 29 September 2016

Politik Akal Sehat

Politik akal sehat tampaknya sedang memasuki ruang gawat darurat di negeri ini. Ibu Kota sebagai ibu teladan telah menjelma menjadi ibu kesesatan. Pada mulanya, nalar lurus mempertanyakan keputusan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Rekam jejak Ahok dinilai tidak sejalan dengan garis ideologis Marhaenisme-pembela wong cilik.
Tak lama kemudian, nalar terpelanting lebih jauh mendapati keputusan poros ”Cikeas” dan ”Kertanegara” dalam menetapkan pasangan yang diusungnya. Seorang jenderal purnawirawan dengan getir menyatakan, ”Penunjukan Agus Yudhoyono merupakan preseden buruk bagi TNI; menjadi contoh negatif yang bisa merusak atmosfer pembinaan di lingkungan TNI. Seorang prajurit ditempa untuk menjadi tentara sejati, bukan menjadi politisi.”
Pesan berantai melalui media sosial juga secara satir mempertanyakan integritas dan marwah politik kubu lain. Seseorang yang pernah menghujat tokoh sentral kubu ini sebagai pelanggar HAM dan proksi mafia kini dengan senang hati menerima pinangannya. Adapun sang tokoh yang pernah dinista pun seperti mati akal untuk bisa berdiri tegak dengan otonomi ideologinya. Alhasil, tiga pasang calon tampil sebagai hasil pilihan akal sesat. Kepentingan jangka pendek mengor- bankan kesehatan nalar publik. Urusan negara dipandang sebagai pertaruhan harkat keluarga. Popularitas menepikan integritas. Modal uang menjatuhkan modal moral.
Kebebasan demokratis sebagai buah reformasi belum kunjung menghadirkan kehi- dupan politik yang lebih sehat dan bermak- na. Kebebasan sebagainegative right (bebas dari) mengalami musim semi. Bangsa ini telah bebas dari berbagai bentuk represi, sensor, bahkan pembatasan. Namun, kebebasan sebagai positive right (bebas untuk) mengalami musim paceklik. Kita tidak memiliki kapasitas dalam menggunakan kebebasan itu untuk memperbaiki kehidupan negeri dengan memberdayakan daulat rakyat.
Berbagai bentuk pilihan dan kebijakan publik tidak menggunakan asas-asas nalar publik yang sehat. Kebijakan dan pilihan poli- tik dengan nalar publik yang sehat setidaknya harus memenuhi empat prinsip utama suatu politik yang responsif: prinsip kemasukakalan, efisiensi, keadilan, dan kebebasan. Dengan keempat prinsip ini, politik responsif harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemena-menaan mengambil kebijakan/keputusan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat terhadap pemerintah. Ketika arena politik lebih mewadahi konflik kepentingan ketimbang konflik visi-ideologi, watak politik menjadi narsistik, mengecilkan harapan banyak orang.
Tuntutan politik responsif menghendaki agar demokrasi yang dikembangkan tidak berhenti sebagai demokrasi minimalis yang bersifat elitis, tetapi menjelma menjadi demokrasi deliberatif (permusyawaratan) yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Demokrasi elitis sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Joseph Schumpeter mendefiniskan demokrasi sebatas metode prosedural, melupakan substansi yang berkaitan dengan tujuan kesejahteraan atau perbaikan nasib rakyat. Demokrasi hanyalah seperangkat prosedur dengan mana keputusan diambil dan kebijakan dihasilkan. Kedua, konsep politik dianalogikan dengan konsep ekonomi pasar. Kompetisi politik berhubungan erat dengan kompetisi ekonomi. Oleh sebab itu, demokrasi elitis ini benar-benar menempatkan demokrasi sebagai suatu arena kompetisi bagi elite-elite terbatas dan teratas. Demokrasi adalah persaingan antarelite. Politisi adalah pengusaha, wakil rakyat adalah saudagar,voter adalah konsumen. Ketiga, demokrasi elitis ini membedakan dirinya dari sistem totalitarianisme sejauh bahwa pemimpin dari demokrasi elitis diajukan, sementara sistem kediktatoran berdasarkan pada pemaksaan. Keempat, rakyat umum memiliki peranan minimal dalam demokrasi ala Schumpeter ini. Rakyat hanya datang ke pemilu untuk memilih wakilnya, tetapi mereka tidak dapat ”menentukan” dan berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan.
Demokrasi deliberatif mengatasi kekurangan demokrasi elitis dengan memandang kebebasan individu dan kesetaraan politik merupakan hal penting sejauh dapat mendorong kemampuan manusia untuk membentuk tatanan kolektif yang berkeadilan melalui deliberasi rasional (Hurley, 1989).
Dalam demokrasi deliberatif, keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan, bukan hanya berdasarkan subyektivitas kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial, melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte minoritas elite penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas.
Orientasi etis ”hikmat kebijaksanaan” mensyaratkan adanya wawasan pengetahuan mendalam yang mengatasi ruang dan waktu tentang wacana yang dipersoalkan. Melalui hikmat itulah mereka yang mewakili rakyat bisa merasakan, menyelami, dan mengetahui apa yang dipikirkan rakyat untuk kemudian diambil keputusan yang bijaksana yang membawa republik ini pada keadaan yang lebih baik. Orientasi etis ”hikmat kebijaksanaan” juga mensyaratkan kearifan untuk dapat menerima perbedaan secara positif dengan memuliakan apa yang disebut sebagai ”kebajikan keberadaban”, yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan dan kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.
YUDI LATIF, ANGGOTA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
Kompas, 27 September 2016

Read More »
08.42 | 0 komentar

Tohokan yang Menjerat

Saat ini di lima gelanggang remaja di wilayah DKI Jakarta tengah berlangsung babak penyisihan Festival Teater Jakarta untuk yang ke-44 (tahun). Hampir setengah abad. Sebuah prestasi fenomenal.

Setidaknya ia telah berperan penting dalam memelihara semangat berteater anak muda, yang jatuh bangun dan didera ”kemiskinan” sepanjang usianya, serta membina calon penonton teater, dari kalangan remaja (sekolah menengah) hingga mahasiswa. Walau usia panjang dan matang itu tidak setara dengan mutu pertunjukan dan teaterawannya yang saya kira bergeming teguh, tak ada kemajuan berarti, bahkan dibandingkan pendahulunya di era 1970 dan 1980-an, jika tidak bisa dibilang stagnan, bahkan mundur. Tentu saja, semua ada penyebabnya, yang ternyata lebih banyak bersifat eksternal ketimbang internal dunia teater itu sendiri.

Seperti yang terjadi saat ini, festival yang diselenggarakan teaterawan muda itu, dengan bantuan dana dari (Suku) Dinas Pariwisata DKI, ternyata harus membayar sewa gedung (pemerintah) yang mereka gunakan dengan tarif per lima jam. Agak ajaib, untuk kegiatan pembinaan seni anak muda, uang pemerintah (negara/rakyat) digunakan untuk membayar fasilitas pemerintah (negara/rakyat). Bukan sekadar jeruk makan jeruk, kenyataan ini menunjukkan cara berpikir yang lumayan kacau.

Belum lagi ditambah fakta, para juri mendapat pembayaran (honor) e-budgeting, menurut istilah mereka, tetapi dalam pengertian sesungguhnya dibayar via transfer bank sebulan-dua, bahkan empat bulan kemudian. Dalam kasus lain, saya dan teman-teman seniman Jakarta pernah melakukan protes keras beberapa hari di panggung terbuka di depan gerbang Taman Ismail Marzuki (TIM) ketika gubernur mengeluarkan kebijakan mengganti semua aparatus kerja pusat kesenian historis itu dengan birokrat mentah pengalaman. Kebijakan itu berlanjut dengan menerapkan tarif semua fasilitas (negara) yang ada di dalamnya, bahkan untuk tiap lembar pamflet, poster, dan baliho yang dipasang di kawasan budaya itu.

Maka, sekali lagi kita diperlihatkan bukti bagaimana pemerintah negeri ini (di semua levelnya) begitu naif dalam soal makna hingga peran dan fungsi kesenian, serta kebudayaan dalam arti umumnya. Terlebih mengenai keragaman sifat, bentuk, hingga manfaat produknya, dinamika, dan proses yang terjadi di dalamnya, apalagi relasi sosial yang terjadi di antara para pelakunya.

Itulah yang menyebabkan antara lain kekacauan atau kerancuan legitimatif saat pemerintah, di tingkat kementerian hingga pusat negara, memberikan penghargaan kepada pelaku atau produsen seni dan budaya. Seperti penghargaan yang diberikan kepada 50 lebih insan dan institusi budaya, beberapa hari lalu (Jumat, 23/9), yang memunculkan kontroversi di arus bawah tentang kualitas, kapasitas, dan peran tokoh budaya yang terpilih, mekanisme, kriterium atau dasar-dasar pemilihan, serta bagaimana reputasi dan integritas dari para anggota dewan pemilihnya.

Seorang dramawan senior pernah mengeluh kepada saya karena penghargaan negara kepadanya sekadar berupa piagam dan uang Rp 10 juta (yang mungkin tak hingga sebulan menguap dalam kebutuhan konsumtif metropolitan). Saya sendiri pernah menerima penghargaan serupa, berupa sebuah pin sejenis pin anggota Korpri dan selembar piagam hasil cetakan sederhana dibalut pigura berwarna perak, berharga di bawah Rp 100.000 perak.

Seniman, kesenian, dan kebudayaan ternyata masih sekadar mainan murahan, sebagian lagi menjadi mimpi buruk bagi pemerintah, di pusat ataupun daerah.

Kebijakan menyedihkan
Saya menyaksikan sendiri bagaimana kondisi taman budaya di sejumlah kota provinsi yang menyedihkan, dari fasilitas fisik hingga program-program yang mengisinya. Di Medan, selain disengketakan pemerintah kotanya (diisukan akan dijual kepada pihak swasta untuk dijadikan kompleks komersial), gedung pertunjukan utamanya selalu digenangi air hingga sebatas paha manusia dewasa saat hujan lebat. Tempat itu kini lebih sering disebut ”taman buaya” kata pekerja seni-budaya setempat.

Yang jelas, di salah satu ibu kota besar (kelima di Indonesia), dana negara yang diberikan kepada dewan kesenian setempat hanya di kisaran Rp 75 juta per tahun, yang bahkan tidak cukup untuk membiayai satu pertunjukan modern. Di ibu kota kedua terbesar negeri ini pun, hanya memiliki satu gedung pertunjukan yang penggunaannya harus berebut dengan acara-acara non- artistik dan non-kultural.

DKI Jakarta, sebagai Ibu Kota, pusat pemerintahan, bisnis, dan acuan artistik dan budaya bagi wilayah-wilayah lain negeri ini, bahkan di seantero region Asia Tenggara, menampilkan wajah sama menyedihkan, apabila tak bisa disebut mengerikan. Mengerikan karena kondisi buruk di atas diciptakan dengan sengaja oleh para penguasanya, yang banyak dielu, dibanggakan, juga dibela oleh rakyat kebanyakan. Baik gubernur maupun wakil gubernur petahana, hingga deputinya yang mengurus kebudayaan pun kini dicalonkan empat partai sebagai bakal pemimpin daerah sangat istimewa ini.

Istimewa karena dengan APBD-nya yang lebih dari Rp 60 triliun setahun, fasilitas seni budayanya, seperti di auditorium di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan, bocor tak henti di dalam ruang pertunjukan, tanpa pernah ada perbaikan berarti. Istimewa karena Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM), yang begitu istimewa sejarah dan perannya, dianggap sang gubernur tidak memiliki cukup kemampuan untuk dikelola para senimannya. Sebagai warga baru Jakarta mungkin dia tidak mengerti bagaimana sejarah setengah abad PKJ-TIM telah melahirkan tokoh, budayawan, seniman penuh reputasi (bahkan di tingkat internasional), lewat kepengurusan seniman-seniman yang katanya embisil dalam manajemen itu.

Kebijakan baru gubernur beserta aturan yang diturunkannya saat ini bukan hanya menciptakan hambatan dan kesulitan yang kian sulit diatasi para seniman, justru kini menjadi ajang arisan kelompok-kelompok amatir dan non-artistik yang punya kemampuan finansial untuk menyewa fasilitasnya. Tak ada lagi dukungan, apalagi bantuan, seperti yang dahulu saya, misalnya, selalu menerima dana bantuan (baik dari manajemen PKJ-TIM lama, Dewan Kesenian, maupun Yayasan Kesenian Jakarta) dalam jumlah cukup signifikan untuk memproduksi sebuah pertunjukan. Sekarang bayar, bayar, dan bayar demi PAD. Orang kaya bernama Jakarta itu ternyata masih mengeruk uang dari kemiskinan seni(man).

Tohok dan jerat itu
”Jakarta sudah kaya, tidak butuh uang seniman!” kalimat keras itu diucapkan Wakil Gubernur DKI Saiful Djarot, di panggung aksi demo kami tahun lalu, di depan banyak seniman, wartawan, tokoh-tokoh publik yang diundang, dan masyarakat umum. Bahkan, di hadapan publik yang sama, sang petahana menyetujui belasan tuntutan tertulis kami kepada Pemprov DKI.

Sang cawagub usungan PDI-P saat ini itu pun menorehkan tanda tangan persetujuannya di atas kertas tuntutan seniman tersebut, beralas punggung yang penulis sendiri sodorkan. Lalu, di sisi mikrofon panggung, kami berpelukan dan melirihkan di telinga masing-masing, ”Kita adalah saudara”. Lirih di bibir, tetapi lantang di pengeras suara.

Namun, apa yang terjadi kemudian, hingga detik ini? Semua seniman, bahkan banyak pihak mafhum, kondisi kebudayaan bukannya justru meningkat dan hangat, malah kian suram dan mengimpit seperti tergambar dalam paparan di atas. Masyarakat seni budaya Jakarta telah terjerat janji Wagub Djarot, dan sebagai pihak—yang memang selalu lemah—mereka tak berdaya, bahkan sekadar untuk menuntut kembali.

Berkali-kali masyarakat seni- budaya Jakarta, termasuk melalui Deputi Gubernur Sylvina Murni, mengajukan usulan untuk melakukan dialog langsung dengan pemimpin tertinggi DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, untuk memberi masukan, bekerja sama membangun Jakarta sebagai kota budaya, kota acuan artistik Indonesia dan ASEAN. Namun, hingga hari ini tidak kesampaian. Sang deputi yang paling kerap diminta mewakili, tentu saja, memberi banyak janji. Namun, janji itu gagal menjadi mimpi.

Saya tidak tahu apakah sang gubernur pernah menjumpai seniman dalam kesempatan-kesempatan lain, entah karena hubungan pribadi, interes pribadi, atau untuk kebutuhan kampanye. Namun, yang jelas, saya lihat dan rasakan sebagai pekerja seni-budaya asli Jakarta selama lebih dari 40 tahun, kesenian dan kebudayaan di Ibu Kota bukan hanya dipojokkan, dimanipulasi, demi kepentingan politik sempit, terhina, bahkan ditohok keras oleh ketakpedulian dan ketidakpahaman gubernurnya sendiri.

Dalam Pilkada DKI mendatang, mungkin duo Ahok-Djarot akan memenangi pemilihan dengan mudah, begitu perkiraan banyak orang, termasuk saya. Petahana itu boleh jadi keras pendirian dan kasar retorikanya, tapi lebih mulia dari itu semua, ia memiliki satu kualitas utama: jujur. Satu nilai universal yang mendasari moralitas, yang begitu langka di kalangan elite kita belakangan ini. Nilai yang jauh lebih penting ketimbang wajah ramah, halus, santun tetapi menyembunyikan kemunafikan, kebohongan dan ambisi yang jauh lebih keras, kasar, bahkan manipulatif dan koruptif.

Namun, apakah lalu Jakarta harus menerima nasib sebagai kota budaya yang remuk dan terpuruk, setengah abad setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan, dan puluhan tahun lagi saat—sesuai prediksi hingga ramalan—gubernur petahana menjadi penguasa utama negeri, entah sebagai presiden atau wakilnya? Saya harus tegas menyatakan: tidak boleh dan tidak bisa! Mari kita sama membuktikannya.

RADHAR PANCA DAHANA, BUDAYAWAN
Kompas, 29 September 2016

Read More »
08.23 | 0 komentar

Minggu, 13 Desember 2015

Tap MPR tentang Etika Pejabat

Salah satu persoalan besar yang kita hadapi untuk menegakkan supremasi hukum pada era Orde Baru (juga sampai sekarang) adalah terlepasnya dasar lahirnya hukum, yakni etika dan moral, dari hukum itu sendiri. Formalitas-prosedural dalam hukum sering dijadikan alat untuk menghindar dari sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang diyakini oleh public common sense telah terjadi. Banyak pejabat tinggi yang telah nyata-nyata melakukan pelanggaran masih berusaha melindungi dirinya dengan alasan prosedural hukum. Mereka membodohkan publik dengan mengatakan ”saya tidak bersalah, belum diputus bersalah oleh pengadilan, faktanya masih kabur, alat buktinya tidak sah, dan lain-lain”.

Mereka mengacaukan nilai etik dan prosedur yuridis. Pada masa lalu, banyak pejabat publik yang mempunyai indikasi kuat merampok uang rakyat melalui penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power atau detournement de pouvoir masih tenang-tenang saja dan ngotot untuk tetap menjadi pejabat.

Mereka bukan hanya tidak mau mundur dari jabatannya, tetapi lebih dari itu masih menyatakan dirinya tidak melakukan kesalahan apa pun. Contohnya, ada pejabat tinggi yang melakukan penunjukan pengadaan barang dan jasa sampai ratusan miliar rupiah dan diketahui oleh publik sebagai penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam penunjukan tersebut terindikasi kuat ada kolusi dan korupsi karena penunjukannya tidak fair , harganya tidak wajar, dan melibatkan calo yang diduga kuat berfungsi sebagai kasir pencuci uang dari sang pejabat. Kala itu pejabat tinggi tersebut disorot secara besar-besaran oleh pers, diteriaki untuk mundur oleh masyarakat, tetapi sang pejabat mengatakan, ”Saya tidak bersalah, belum ada putusan pengadilan yang menyatakan saya bersalah, saya tidak akan mundur.”

Sang pejabat pun mengeluarkan dalil-dalil hukum, UU nomor sekian pasal sekian, PP nomor sekian tahun sekian, dan keppres nomor sekian tanggal sekian. Pejabat itu tetap tebal muka, tidak mau mundur, dan mencari-cari dalil hukum sesuai dengan pilihan sendiri. Dalil hukum yang dipergunakan aparat penegak hukum atau dikemukakan masyarakat bahwa sang pejabat itu melanggar hukum ditepis begitu saja oleh sang pejabat dengan masih menggunakan jabatannya sehingga pemeriksaan atas dirinya menjadi tidak lancar.

Sang pejabat itu lupa bahwa hukum bersumber dari moral dan etika. Hukum adalah formalisasi dari nilai-nilai moral dan etik. Jika nilai-nilai moral dan etik itu tidak terpenuhi oleh pasal-pasal yang resmi atau yang formal-prosedural di dalam hukum, maka nilai moral dan etik dalam jabatan haruslah lebih diutamakan. Mengapa? Karena sebenarnya hukum hanyalah peningkatan posisi dari nilai-nilai moral dan etika.

Praktisnya, hukum adalah ”alat” untuk memberi jalan bagi hidup moral dan etika. Seperti diketahui di dalam masyarakat hidup berbagai norma, yaitu norma keagamaan, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum. Hubungan antara norma hukum dan ketiga norma lain bersifat gradual, artinya hukum itu dibuat sebagai formalisasi (pemberlakuan secara resmi) tentang nilai-nilai moral dan etik yang bersumber dari ketiga norma tersebut.

Ini harus diartikan bahwa sejatinya moral dan etik berada di atas hukum. Namun dalam kenyataannya banyak orang yang menggunakan pasal-pasal hukum (formalitas-prosedural) untuk melanggar moral dan etika. Meski sudah melanggar moral dan etika, banyak orang menyatakan dirinya tidak bersalah hanya karena belum diputus bersalah oleh pengadilan.

Padahal pengadilan akan terhambat untuk menanganinya karena yang bersangkutan masih pejabat yang sering membentengi diri dengan jabatannya dan jaringan-jaringan politiknya. Pada masa lalu sangat banyak kasus seperti itu, yakni kasus yang meletakkan moral dan etika di bawah landasan formal-prosedural hukum.

Baik pejabat negara maupun pegawai negeri banyak yang menyelamatkan diri dari sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya dengan menggunakan pasal-pasal hukum yang tafsirnya dibuat dengan seenak sendiri, dilepas dari maksud substansialnya. Itulah sebabnya pada 2001, saat semangat reformasi masih agak murni, kita membuat produk hukum untuk menghadapi akal bulus para pejabat yang selalu berlindung di balik formalitas-prosedural hukum.

Pada 2001 MPR mengeluarkan Ketetapan No VI/ MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Di dalam Tap No VI/MPR/ 2001, Bab II butir 2, digariskan, ”... setiap pejabat dan elite politik ... siap untuk mundur dari jabatannya apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”

Selanjutnya pada Bab II butir 4 disebutkan juga, ”Etika ini meniscayakan..., menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.” Baik berdasar bunyi kalimat maupun berdasar latar belakang dilahirkannya Tap MPR tersebut terbaca dengan jelas bahwa moral dan etika ada atas hukum.

Jika moral publik sudah ”merasakan”, bahkan ”menggedor” bahwa seorang pejabat atau elite politik melakukan kesalahan, yang bersangkutan harus siap mundur tanpa boleh menggunakan jabatannya untuk memanipulasi hukum dan sukmanya. Tap No VI/MPR/2001 tersebut masih dinyatakan berlaku sampai sekarang oleh Tap No I/MPR/2003.

Di dalam UU No 12 Tahun 20011 Ketetapan MPR yang masih berlaku kedudukannya lebih tinggi daripada UU. Secara hierarkis Tap MPR berada di bawah UUD NRI Tahun 1945 tetapi berada di atas UU/Perppu.

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 12 Desember 2015

Read More »
23.02 | 0 komentar

“Ora Sudi”

Presiden Republik Indonesia,Joko Widodo, marah. Suaranya bergetar, wajahnya serius, jari-jari tangannya menuding memberi tekanan kata yang diucapkan. Dan diakhiri dengan mendadak. Presiden tidak menggunakan bahasa terselubung, tidak memakai kata bersayap ala Presiden Soeharto dengan istilah “setan gundul” yang terkenal itu. Presiden Joko Widodo bicara mloho, telanjang, apa adanya. Bahwa dirinya bisa disebut gila, koppeg, tapi lembaga kepresidenan tak bisa dilecehkan. Tak boleh direndahkan, apalagi dicatut dalam soal minta saham ke PT Freeport.

Mungkin sekali baru sekarang ini, setelah satu tahun mengenal beliau sebagai presiden, kemarahan itu diekspresikan secara terbuka. Mungkin sekali beliau menganggap apa yang terjadi dengan pencatutan nama sudah keterlaluan. Sebagian masyarakat Indonesia juga geram, marah. Beberapa tokoh politik menyuarakan hal yang senada. Beberapa waktu sebelum kemarahan terbuka ini, Menteri ESDM Sudirman Said ketika melapor kasus yang melibatkan Ketua DPR dan pengusaha migas, terucap bahwa Presiden mengatakan “ora sudi”.

Dalam terjemahan secara umum bisa diartikan tidak mau, ogah, tidak sudi. Namun sebenarnya yang terungkap dalam bahasa Jawa ini lebih dalam dari sekadar penolakan. Kalimat utuhnya dalam bahasa Jawa adalah “Ora sudi. Dadia godong emoh nyuwek, dadia banyu emoh nyawuk”. Terjemahan per kata adalah “Tidak sudi. (Kalaupun kamu) berupa daun (aku tak mau) menyobek, (kalau kamu) berupa air (aku tak mau) menyentuh.” Dengan pengertian senada bisa dikatakan sebagai penolakan dalam bentuk apapun. Bahkan kalau itu berwujud daun, tangan ini terlalu halus untuk menyobeknya.

Kalau itu berwujud air, tetap tak ingin bersentuhan. Dalam bahasa dunia persilatan, kata “ora sudi” mirip dengan upacara “minum arak perdamain”. Yaitu upacara dua jago silat—atau lebih, yang tadinya bersahabat, atau bahkan bersaudara, atau satu kelompok, satu perguruan— yang meminum arak bersama. Itu sebagai tanda bahwa setelah upacara minum arak perdamaian, kedua akan berlaga. Duel atau pun keroyokan.

Dalam hal ini segala tata nilai dan tata krama sebelumnya tidak berlaku. Nilai persaudaraan, perkawanan, perkoalisian, perpartaian, tidak berlaku lagi. Hukum baru yang berlaku. Hukum “ora sudi.”

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Dan kemarahan begini tidak boleh berakhir sia-sia, yang berhenti pada kemarahan semata. Harus ada tindak lanjutnya. Hal yang sama ketika masyarakat merasakan kemarahan, ketersinggungan yang sama, kecemasan besar atau perilaku yang menghinakan kemanusiaan, kemarahaan mereka tak harus sia-sia. Ini yang sekarang ditunggu. Apapun itu.

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN JAKARTA, 12 Desember 2015

Read More »
23.00 | 0 komentar

Bicara Bohong, Jual Pepesan Kosong

Kita mungkin heran bagaimana para petinggi dan orang-orang penting di Indonesia seakan demikian fasih berbohong atau bicara kosong. Di tengah gaduh sidang MKD, saya menemukan laporan penelitian dari Van Bockstaele, Wilhelm, Meijer, Debey, dan Verschuere (2015) yang dapat sedikit menjawab kebingungan kita.

Korupsi, upaya korupsi, atau penyalahgunaan posisi pasti mengandung elemen kebohongan, yang mungkin dapat kita definisikan secara sederhana sebagai ”pernyataan tidak benar dengan tujuan untuk mengelabui”. Teori psikologi yang standar melihat berbohong sebagai kerja yang lebih sulit daripada bicara benar. Mengapa?

Karena berbohong memerlukan sumber-sumber daya tambahan, antara lain, untuk melawan diri sendiri dengan menekan kebenaran, untuk memantau respons dan perilaku orang yang berhadapan dengan kita, untuk mengarang cerita dan mempertahankan koherensi cerita. Jadi, ada ”beban kognitif” atau kesulitan kognitif tersendiri yang harus ditanggung individu untuk dapat berbohong.

Beberapa studi neuropsikologi membuktikan hal di atas. Berbohong menyebabkan adanya peningkatan aktivasi bagian otak yang secara khusus terkait dengan pengendalian kognitif yang harus dilakukan orang saat berbohong.

Penelitian-penelitian yang lebih baru menemukan, berbohong itu ternyata tidak selalu lebih sulit daripada bicara benar. Bohong menjadi lebih sulit apabila individu harus mengonstruksi cerita yang detail-detail nya sulit diakses kembali dari ingatan. Atau apabila individu tidak terlatih untuk melakukannya. Tetapi, bergantung pada berbagai faktor kontekstual, berbohong bisa saja menjadi kerja yang relatif mudah dilakukan.

Verschuere dkk (2011) dan Van Bockstaele dkk (2015) membuktikan melalui penelitian eksperimental mereka bahwa berbohong dapat makin cepat, mudah, dan tanpa beban dilakukan apabila individu terlatih melakukannya. Beberapa percobaan sederhana dilakukan dengan memanipulasi tugas, partisipan eksperimen kadang diminta menjawab secara benar dan di saat lain, berbohong. Partisipan hanya diminta menjawab ”ya” atau ”tidak” untuk pertanyaan-pertanyaan sederhana, misalnya ”apakah hari ini Anda membeli koran?” atau ”Apakah London itu ada di negara Jerman?” atau ”Apakah di laut ada air?”. Kadang pertanyaannya juga terkait otobiografi partisipan (misalnya ”Apakah Anda lahir di Amsterdam?”).

”Beban kognitif’ atau kesulitan kognitif untuk berbohong dilihat dari waktu reaksi. Yakni seberapa cepat individu berespons ketika disuruh harus berbohong, dan seberapa cepat menjawab ketika diharuskan tidak berbohong. Juga dari perbandingan banyaknya kesalahan yang dilakukan antara menjawab bohong dan menjawab secara benar.

Untuk melihat efek dari latihan atau pembiasaan berbohong, Verschuere dkk memanipulasi proporsi percobaan berbohong dan bicara benar. Ada kelompok individu yang memperoleh instruksi untuk berbohong pada 25 persen dari percobaan, ada yang 50 persen, ada yang pada 75 persen percobaan. Yang diminta untuk lebih jarang berbohong akan berbohong dengan lebih sulit, ditunjukkan melalui waktu reaksi yang lebih lambat dan lebih banyaknya kesalahan saat harus berbohong.

Peneliti juga mencoba memanipulasi kondisi dengan mengubah-ubah instruksi. Data menunjukkan bahwa partisipan akan lebih cepat mampu berbohong apabila di tugas sebelumnya ia juga memperoleh instruksi untuk berbohong. Jika sebelumnya ia dituntut bicara benar, lalu harus berpindah tugas untuk bicara bohong di percobaan berikutnya, individu memerlukan waktu lebih lama untuk berhasil menjalankan tugasnya.

Pembelajaran

Hasil penelitian memberikan beberapa pemahaman. Pertama, yang jarang berbohong akan lebih sulit berbohong, dan mungkin lebih mudah ketahuan apabila ia bicara tidak jujur. Terlihat dari waktu reaksi yang lama, dan kesalahan-kesalahan yang dapat dideteksi, misalnya, tidak koheren-nya cerita. Yang lebih biasa berbohong akan melakukannya dengan mudah, cepat, dan tanpa beban.

Kedua, konteks, situasi sosial, dan pembiasaan menjadi sangat penting. Jika kita ada dalam lingkungan yang menuntut kejujuran dan bicara benar, dan terus memperoleh instruksi dan pengawasan untuk itu, kita akan jauh lebih mudah bicara jujur. Dalam lingkungan seperti ini, bicara bohong atau kosong membawa beban kognitif yang besar sehingga jauh lebih sulit dilakukan. Sebaliknya, jika kita ada dalam lingkungan yang sebagian besar bicara bohong, bicara kosong dan bohong seolah justru menjadi tuntutan. Kita jadi terlatih untuk melakukannya.

Ketiga, menggabungkan pembelajaran dari sejumlah temuan penelitian secara lebih komprehensif, psikologi hukum dan ilmu-ilmu terkait perlu menelaah kembali dan memperbarui beragam alat dan tes untuk menguji kejujuran dan mendeteksi kebohongan, Kita perlu memastikan, agar perangkat yang digunakan dalam proses hukum, sidang etika, dan dalam seleksi jabatan-jabatan yang sangat memerlukan integritas dapat mendeteksi perilaku individu-individu yang memang sangat piawai dalam berbohong.

Penelitian di atas melihat dari sisi kognitif saja, kita belum menggabungkannya dengan sisi emosional-etis perilaku manusia karena pembiasaan juga akan menghilangkan kepekaan, mengikis rasa bersalah dan rasa malu. Dalam lingkungan dengan kebohongan itu jadi tuntutan, malah kita dapat merasa bersalah pada kelompok atau institusi jika tidak melakukannya.

Kita jadi mengerti, mengapa sebagian orang berpengaruh di negara kita sangat fasih dan ramai bicara mengenai ”kebangsaan, nasionalisme, moralitas, penegakan hukum, pemberantasan korupsi” tetapi percakapannya sangat kosong, dan perilaku yang ditunjukkan adalah yang sebaliknya.

Betapa besar dan sulit tugas untuk dapat me-rekonstruksi pelembagaan kebohongan. Walau demikian, yang sangat sulit bukan berarti mustahil untuk dilakukan.

Selamat menutup tahun, semoga di tahun depan kita dapat menjadi manusia yang lebih sedikit berbohong dan lebih sedikit bicara kosong.

Kristi Poerwandari  ;  Penulis Kolom “Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS, 13 Desember 2015

Read More »
22.47 | 0 komentar

Dagelan Ala Kemenristek-Dikti dan Komisi X DPR

Ada wacana pengelolaan lembaga beasiswa, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), akan dipindah dari Kementerian Keuangan/Kemenkeu ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi/Kemenristek-Dikti (KORAN SINDO, 3/12). Setidaknya ada tiga argumen dari Kemenristek-Dikti dan DPR terkait hal ini. Argumen yang pertama adalah penyaluran dana beasiswa kerap terlambat. Kemenristek-Dikti dan Komisi X DPR menyebutkan bahwa para penerima beasiswa di luar negeri banyak yang risau karena uangnya belum ditransfer. Para petinggi negara yang terhormat ini juga menyatakan bahwa penerima beasiswa terancam drop out (DO) dari kampusnya karena uang kuliahnya tidak segera dibayar.

Benarkah hal-hal ini terjadi di lapangan? Tidak jelas disebutkan dalam berita tersebut siapa dan berapa yang dimaksud “para mahasiswa” di sini. Apakah “para mahasiswa” ini jumlahnya sebagian besar atau sebagian kecil. Namun, menurut pengamatan penulis kasus seperti yang dijelaskan di atas jumlahnya sepertinya sangat kecil.

Tiga Perbedaan Mendasar

Sebagai generasi pertama yang mendapatkan Beasiswa LPDP dan cerita kawan-kawan penerima beasiswa yang dikelola oleh Dikti, penulis menyimpulkan bahwa pelayanan LPDP jauh lebih baik dibandingkan beasiswa-beasiswa yang dikelola Dikti, seperti Beasiswa Unggulan atau Beasiswa Dikti. Terdapat beberapa perbedaan signifikan antara beasiswa yang dikelola oleh LPDP dan Dikti.

Pertama, tidak seperti beasiswa yang dikelola Dikti, LPDP memberikan beasiswa di awal periode untuk tiga bulan ke depan sehingga para penerima beasiswa tidak perlu nombok terlebih dahulu. Kedua, total nilai dan tunjangan- tunjangan beasiswa LPDP lebih banyak dan besar dibandingkan beasiswa-beasiswa yang dikelola Dikti.

Tunjangantunjangan tersebut mulai dari uang bulanan, tunjangan buku, settlement allowance, keluarga, seminar internasional, penulisan disertasi, pengurusan visa, wisuda hingga insentif publikasi internasional semuanya diberikan oleh LPDP. Bahkan, para penerima beasiswa di bawah Dikti pun turut senang dengan lahirnya LPDP karena semenjak LPDP ada, pengelolaan beasiswa oleh Dikti sedikit ada kemajuan, setidaknya ada kenaikan nominal bulanan.

Ketiga, penyaluran uang bulanan beasiswa LPDP sebagian besar tepat waktu, sedangkan beasiswa yang dikelola Dikti justru sebagian besar terlambat. Keterlambatan pengiriman uang bulanan ini tentu sangat memberatkan para mahasiswa karena hidup mereka sangat bergantung dari dana ini. Tidak heran jika para pemburu beasiswa saat ini berpaling dari beasiswa yang dikelola Dikti ke LPDP.

Hal ini disebabkan pelayanan yang (jauh) lebih baik dan nominal uang yang lebih besar. Alhasil, beasiswa yang dikelola Dikti menjadi sepi peminat. Bahkan, nominal beasiswa yang LPDP berikan masih lebih menggiurkan dibandingkan dengan beasiswa-beasiswa dari pemerintah/donor Asing, seperti Inggris (Chevening), Swedia (Swedish Institute), atau Amerika Serikat (Fulbright).

Dampak lain sepinya peminat beasiswa-beasiswa Dikti adalah penyerapan anggaran Dikti menjadi bermasalah. Terlepas dari perubahan nomenklatur dan restrukturisasi organisasi, penyerapan anggaran Kemenristek-Dikti tahun ini sangatlah rendah, kurang dari 62% atau Rp27,3 triliun dari total pagu anggaran sebesar Rp44 triliun. Bahkan, Menristek-Dikti sendiri sangat pesimistis penyerapan anggaran di Kementeriannya hanya akan sekitar 85% pada 2015.

Pemberian beasiswa ke luar negeri memang membutuhkan biaya yang sangat besar. Hitungan kasarnya, untuk meluluskan satu orang di jenjang S-2 di luar negeri kira-kira membutuhkan dana sekitar Rp500 juta, sedangkan untuk jenjang S-3 sebesar Rp1 triliun. Jadi, wajar jika program beasiswa, khususnya beasiswa ke luar negeri, menjadi program andalan Kemenristek-Dikti untuk mendapatkan anggaran yang besar dan penyerapan yang maksimal.

Kuota Beasiswa

Argumen yang kedua Kemenristek-Dikti dan DPR adalah kuota penerima beasiswa LPDP yang sangat kecil. Hingga akhir November 2015, total angkatan (batch ) LPDP telah tembus di angka 50 (lima puluh). Setiap angkatan rata-rata berjumlah 90-100 orang. Jadi, jumlah penerima beasiswa LPDP (awardees) dalam dua tahun terakhir sekitar 4.000-5.000 mahasiswa atau rata-rata per tahunnya LPDP sekitar 2.000- 2.500 beasiswa bagi putra-putri terbaik Indonesia.

Angka yang sangat besar, berkali-kali lipat jauh lebih besar dibandingkan beasiswa apapun di Indonesia. Sebagai perbandingan, tiap tahunnya Beasiswa Unggulan (BU) yang dikelola oleh Kemendikbud hanya memberikan kurang dari 2.000 beasiswa untuk jenjang pascasarjana. Jumlah penerima beasiswa ini pun tidak stabil.

Pada 2007, penerima BU untuk jenjang pascasarjana tembus angka 1974, namun dua tahun berikutnya anjlok menjadi 373 (2008) dan hanya 206 di 2009. Angka ini kemudian merangkak naik menjadi 845 pada 2010, 1.511 di 2011, namun turun lagi di 2012 menjadi 1.161, dan 993 di 2013. Beasiswa yang berasal dari Pemerintah asing untuk mahasiswa Indonesia jumlahnya jauh lebih sedikit lagi.

Rata-rata beasiswa dari Pemerintah asing kuotanya cukup variatif, namun yang pasti hampir semua beasiswa tersebut hanya memberikan kurang dari 100 beasiswa tiap tahunnya. Sebagai contoh, beasiswa dari pemerintah Inggris (Chevening) pemberangkatan 2014 hanya 23 orang, meskipun tahun ini naik menjadi 66, itu pun karena pertimbangan politis dari pemerintah Inggris untuk meningkatkan hubungan bilateralnya dengan Indonesia.

Bahkan, beasiswa dari pemerintah AS (USAID) tahun ini (2015) hanya memberikan kepada 23 orang. Yang paling besar adalah pemerintah Australia melalui beasiswa AAS (dahulu ADS), tetapi itu pun hanya sekitar 300- 500 beasiswa per tahunnya.

Antara Tupoksi dan Realitas

Argumen ketiga adalah agar pengelolaan beasiswa tidak tumpang tindih. Sebenarnya, di antara ketiga argumen yang diutarakan di atas, jujur argumen ini adalah argumen yang paling masuk akal. Benar bahwa sejatinya pemberian beasiswa untuk jenjang pascasarjana itu lebih mendekati tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) Kemenristek-Dikti dibandingkan Kemenkeu.

Di sisi lain, hingga detik ini LPDP juga belum memiliki grand design yang jelas dan komprehensif tentang proyeksi kebutuhan SDM Indonesia ke depan. Selain itu, LPDP juga belum memiliki mekanisme yang cukup kuat dan mengikat agar menjamin para awardees-nya tidak lari ke negeri orang pascalulus nanti (brain drain). Hanya, publik harus memahami alasan utama mengapa LPDP saat ini berada di bawah naungan Kemenkeu, bukan Kemenristek-Dikti (kini) atau Kemendiknas (dahulu).

Salah satu spirit utama dibentuknya LPDP justru berangkat dari benang kusut pengelolaan beasiswa yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) itu sendiri. Buruknya pelayanan, seperti rumitnya birokrasi pencairan beasiswa, sering terlambatnya transfer uang bulanan, ketidaksesuaian antara dana yang seharusnya ditransfer dengan nominal yang diterima awardees, adalah beberapa fakta yang tak terbantahkan betapa tidak becusnya Dikti dalam mengelola beasiswa.

Oleh karena itu, sangatlah lucu jika para petinggi Komisi X DPR dan juga Menristek-Dikti menyebutkan bahwa pengelolaan beasiswa LPDP buruk maka harus dipindahkan di bawah naungan Kemenristek-Dikti, padahal sebenarnya apa yang mereka ceritakan justru sedang menggambarkan bobroknya pengelolaan beasiswa yang dikelola oleh Dikti itu sendiri. Pemutar balikkan fakta yang luar biasa, dagelan!

Dzulfian Syafrian  ;  Ekonom INDEF;, Penerima Beasiswa LPDP angkatan IV; Lulusan MSc Economics University of Warwick, Inggris
KORAN SINDO, 11 Desember 2015

Read More »
22.40 | 0 komentar

Peka

Belakangan saya cukup aktif berada di sebuah chat room. Jangan ditanya tujuannya untuk apa saya berada di ruang mengobrol itu. Saya yakin, Anda pasti sudah tahu. Yaaa… Anda benar saya sedang mencari teman.

Kalau cocok, yaa… saya terbuka untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih dari sekadar teman biasa. Macam jenjang pendidikan. Setelah S-1 kalau bisa ya S-2. Dan kalau masih bisa maju lagi, yaa S-3.

”Enggak suka, ya?”

Tentu masuk ke sebuah ruang mengobrol saya perlu memberikan informasi soal umur, fisik, dan secara singkat keinginan saya untuk bertemu dengan teman-teman yang seperti apa. Karena saya ini sudah setengah abad lebih, saya itu lebih menyukai yang seusia atau paling tidak sebelas dua belaslah dengan usia saya.

Tetapi, apa kenyataannya? Data pribadi itu tak berguna sama sekali. Yang ingin mengobrol dan bertemu lebih banyak adalah mereka yang berusia antara 20 dan 30-an. Awalnya saya meladeni, la wong cuma mau berteman. Apa salahnya? Tetapi, setelah beberapa kali dijalani, banyak ketidakcocokannya.

Setelah itu, setiap kali ada yang berusia muda mengajak saya ngobrol, saya malah menegur mereka untuk membaca biodata yang telah saya tuliskan. Biasanya mereka minta maaf, kemudian menghilang untuk sementara waktu, kemudian muncul lagi.

Kedatangan yang berulang itu mengundang kekesalan. Maka saya langsung menghapus pesan mereka tanpa membacanya. Tetapi, tampaknya, menyerah itu tidak ada di dalam kamus mereka. Saya tidak tahu mengapa. Padahal saya ini jelek, pendek, dan jauh dari kaya raya.

Sangat jamak ketika saya tidak membalas pesan yang ditulis, maka mereka akan mengirim pesan seperti ini. ”Kok enggak dibalas sih, Mas? Enggak suka ya?” Nah, kalimat inilah yang menginspirasi saya untuk curhat lagi dengan Anda sekalian hari ini.

Sungguh saya tidak tahu, dan sama sekali belum terinspirasi untuk menanyakan kepada mereka, mengapa mereka itu tak bisa peka atau tidak mau peka, bahwa kalau saya tidak membalas itu berarti saya memang tidak tertarik. Saya tidak membalas itu sebagai ’bahasa isyarat’ kalau saya ini tidak lagi berkeinginan berkomunikasi dengan mereka.

Bahasa nurani

Di suatu hari saya berpikir, ah… sungguh tidak benar kalau saya hanya menghapus pesan mereka dan tidak menjelaskan alasan saya tidak membalasnya. Maka saya menjelaskan bahwa saya ini tidak tertarik. Penjelasan itu saya tulis dengan menggunakan bahasa yang sopan.

Karena saya sungguh mengerti, ditolak itu lumayan membuat kepercayaan drop seperti tekanan darah karena saya pernah mengalaminya. Rasanya seperti ditimpuk bola kasti dan kemudian mulai merasa kalau saya ini tak bernilai.

Hasil dari memberi penjelasan itu pun tidak menolong sama sekali. Karena semangat yang tinggi, beberapa di antara mereka menganggap penjelasan itu sebagai sebuah jalan untuk membuka obrolan kembali. Beberapa malah menawarkan berkenalan lebih jauh dulu sebelum saya memutuskan untuk menolak. Saya sampai geleng kepala.

Apa yang mereka lakukan membuat saya berpikir, mengapa mereka sampai sebegitu ngotot, dan seperti menutup mata dan hati, dan tidak peduli dengan apa yang telah saya lakukan. Mengapa mereka bertanya kepada saya, ”Enggak suka ya, Mas?”, tetapi tidak mempertanyakan diri sendiri, mengapa saya sampai harus menghabiskan waktu untuk berkenalan dengan orang yang sama sekali tidak berniat berkenalan dengan saya?

Apakah mereka memiliki agenda tersembunyi yang jahat atau begitu kesepiannya? Apakah mereka sangat membutuhkan pasangan hidup karena perjalanan asmara yang kering kerontang sehingga ngotot menjadi sebuah harapan untuk tidak kering dan kerontang? Sejujurnya di saat perasaan ini jengkel setengah mati, ada perasaan sedih yang menyelinap.

Saya pernah ada di posisi mereka. Ketika kebutuhan utama akan teman atau yang lebih dari teman tak bisa terpenuhi, sehingga perasaan kesepian itu seperti tak bedanya dengan kanker yang menggerogoti. Apalagi, usia makin lama tidak makin bertambah muda.

Gara-gara peristiwa itu, saya jadi kena batunya. Nurani saya langsung mengambil kesempatan untuk bertanya sekaligus menyindir. Umumnya malah banyak niat menyindirnya daripada bertanya. ”Emang kamu peka?”

Nurani itu terus berkicau. ”Elo tu gak peka lagi. Sama sekali tidak.” Setelah sindiran itu berhenti, saya harus mengakui banyak hal yang saya hadapi setiap hari dengan ketidakpekaan. Bahasa tubuh, gerakan tangan, bibir atau pesan yang tak dibalas yang dilakukan oleh klien, teman usaha, staf di kantor, orang yang sedang saya taksir, sering kali tak saya pahami.

Padahal, mereka sedang mengomunikasikan sesuatu, hanya saja mereka tak mau terus terang karena bisa jadi takut saya tersinggung, atau bisa jadi melindungi saya dari merasa tak punya kepercayaan diri kalau ’ditembak’ langsung.

Saya harus lebih banyak belajar mengerti bahasa yang ’halus’ itu. Sebuah bahasa yang harus dikomunikasikan dan dirasakan dengan kepekaan nurani, yang tak akan menusuk seperti belati, yang tidak memekakkan telinga seperti petir menyambar, tetapi menyelamatkan keberadaan orang.

Samuel Mulia  ;  Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu
KOMPAS, 13 Desember 2015

Read More »
17.31 | 0 komentar

Perayaan Seniman Asia

”Becoming Asia” menjadi tema Jogja Festival Film Asia Ke-10 (1-6 Desember). Tidak kurang dari 150 film diputar dan beragam topik didiskusikan, termasuk merayakan 25 tahun Netpac (Network for the Promotion of Asian Cinema). Sebuah organisasi yang mampu melahirkan serta mendorong kelahiran festival film di Asia, kritikus, kurator, hingga cara pandang baru pada film Asia. Harus dicatat, 25 tahun lalu, film Asia selalu dalam cara pandang, nilai, dan ruang pertumbuhan dari dan oleh organisator hingga kritikus Amerika dan Eropa.

Saya sendiri mencatat, layaknya pertumbuhan ekonomi dan sosial di Asia, film Asia akan selalu penuh dinamika mengingat keberagaman persoalan budaya, sosial, dan politik di Asia Pasifik, terlebih pada era digital dan media sosial dewasa ini. Terbaca, film-film Asia dengan teknologi yang murah, efisien, dan efektif terus bertumbuh dalam dinamika luar biasa, khususnya bagi pembuat film independen. Simak penyebaran kekuatan film Filipina dalam 10 tahun ini, termasuk wilayah desentralisasinya, simak kemenangan film dari Cebu di Jogja Film Asia, film Nay karya Djenar Maesa Ayu, hingga film Kamboja. Simak juga, menyebarnya film Indonesia di beragam film festival: Venezia, Telluride, Busan, hingga Tokyo, serta beragam penghargaan.

Teknologi digital dengan media sosialnya tiba-tiba menjadi medium pengganti beragam dasar struktur dan super struktur seniman-seniman Asia, yang dahulu selalu dalam penguasaan Eropa-Amerika. Sebut saja infrastruktur festival, studio, hingga museum-museum dan galeri. Kini, media sosial menjadi galeri, outlet. Bahkan studio penciptaan seniman Asia. Bisa diakses secara cepat dan murah ke seluruh dunia dalam hitungan ketukan jari.

Dalam seminar Netpac yang dihadiri delegasi Sri Lanka, Singapura, hingga Malaysia, terbaca beragam kemungkinan mendorong peta Asia untuk warga Asia menjadi lebih Asia. Salah satunya mendorong kuliah publik oleh pengajar, kritikus, ataupun pembuat film Asia lewat media sosial dari Skype hingga situs web dalam sistem jejaring hingga pulau-pulau terpencil di sejumlah wilayah Asia.

Haruslah dicatat, pertumbuhan sekolah film di Indonesia mengalami peloncatan luar biasa, namun disertai kenyataan langkanya ketersediaan pengajar tentang film Asia dan materi buku dan film-film Asia. Bagi saya, Jogja Asia Film Festival (JAFF) bukan saja sebuah perayaan tentang film, melainkan juga perayaan studi film dalam spirit Asia. JAFF selama 10 tahun ini telah menerbitkan buku-buku tentang film Vietnam hingga Sri Lanka ataupun Malaysia.

JAFF lalu menunjukkan bahwa era digital membawa seni Asia dalam lompatan baru dialognya dengan dunia, maka Asia Pasifik yang dikenal sangat konsumtif dalam teknologi baru ditantang melakukan transformasi produktivitas lewat media sosial. Media sosial menjadi geografi penaklukan baru yang efisien dan efektif bagi seniman Asia.

Harus dicatat, Asia Pasifik yang lebih berbasis tradisi budaya oral dengan visualisasi tertentu (wayang kulit dan lain-lain) ketimbang baca tulis kini menemukan medium baru budaya oral tradisi dalam visual media sosial baru. Maka, seni Asia dan film Asia senantiasa akan hidup dalam dinamika suspense dan surprise yang serba tak terduga layaknya seluruh data, fakta, gosip, ataupun beragam perspektif dialog dalam media sosial.

Sebuah percampuran sampah visual ataupun relaksasi beragam perspektif dengan karya genius ataupun terobosan baru dalam cara berkarya, distribusi, hingga penyebaran ataupun apresiasi serta pola ekonomi baru. Selamat untuk terus-menerus menjadi Asia.

Garin Nugroho  ;  Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu
KOMPAS, 13 Desember 2015

Read More »
17.28 | 0 komentar